Sabtu, 16 Mei 2015

MENGGAGAS STRATEGI RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN “Menghapus Fenomena Jakarta Sentris Sebagai Langkah Solutif Pembangunan Indonesia Masa Depan”



Oleh :
Ahmad Oktabri Widyananda, S.IP
La Ode Buzyali Fajman Sanbigs, S.IP
Singgih Usman Fuadi, S.IP
(Purna Praja IPDN Angkatan 21) 
*disusun saat mengikuti lomba debat mahasiwa se-Jabodetabek yang diselenggarakan oleh TVOne dan Bank BNI


Relokasi pusat ibukota yang juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan bukanlah hal yang baru dibicarakan. Presiden pertama Ir. Soekarno bahkan telah meramalkan bahwa suatu saat Kota Jakarta akan tumbuh menjadi kota yang tidak terkendali, sehingga perlu adanya relokasi pusat ibukota ke daerah lain dimana Ir.Soekarno langsung mengatakan Kota Palangkaraya layak untuk dijadikan alternatif dengan alasan letak pulau Kalimantan yang berada di tengah gugus kepulauan Indonesia dan menghilangkan sentralistik jawa[1].

Pola pikir masyarakat masih cenderung berfikir bahwa munculnya kembali masalah relokasi pusat ibukota keluar dari Jakarta hanya semata-mata untuk mengatasi masalah Jakarta yang tidak kunjung dapat terselesaikan dengan baik. Jumlah penduduk Jakarta  yang pada hasil perhitungan sensus penduduk tahun 2010 telah menunjukkan angka 10,19 juta jiwa yang artinya bahwa Kota Jakarta mempunyai tingkat kepadatan penduduk 14.000/KM2 menempati urutan pertama tingkat kepadatan penduduk di Indonesia[2]. Masalah lain yang muncul adalah tentang kemacetan dan banjir dimana masalah tersebut semakin lama bukan semakin teratasi tetapi nampak semakin bertambah parah. Sempitnya pemikiran akan proses pembangunan menjadi kendala mengapa proses relokasi tidak dapat terealisasi karena terkesan bahwa relokasi pusat ibukota atau pusat pemerintahan hanya memikirkan masalah Jakarta tanpa memikirkan daerah-daerah lain terkhusus daerah di luar jawa.

Pilihan hanya memindahkan pusat pemerintahan menjadi salah satu alternatif dalam kerangka sebuah proses pembangunan berkelanjutan tanpa menghilangkan aspek historis yang telah melekat pada Kota Jakarta. Berpindahnya pusat pemerintahan ke daerah lain seperti Kota Palangkaraya dengan berbagai alasan dan faktor kelayakan akan menjadi sebuah “Matahari” bagi daerah lain untuk dapat mengembangkan diri. Bergesernya Pusat Pemerintahan ke Kota Palangkaraya paling tidak akan menciptakan 2 kawasan yang masing-masing mempunyai konsentrasi teritorial, dimana Jakarta setelah bergesernya pusat pemerintahan akan dapat berfungsi sebagai kota dengan konsentrasi bisnis, perdagangan dan hiburan yang keseluruhannya adalah profit oriented, sedangkan Kota Palangkaraya akan berfokus pada jalannya sistem pemerintahan nasional yang orientasinya adalah untuk menjalankan fungsi pemerintahan yaitu fungsi pelayanan, regulasi dan pemberdayaan. Konsep konsentrasi kawasan tersebut sebenarnya telah dimiliki oleh pendahulu negeri ini jika kita mampu melihat sejarah, dimana keberhasilan konsep tersebut sukses diterapkan pada masa Kerajaan Majapahit.

Peta Nusantara Masa Kerajaan Majapahit
Kesuksesan Majapahit dengan konsentrasi wilayahnya dengan membangun titik fokus di beberapa bidang semisal dalam hal pusat armada lautnya dititikfokuskan di daerah Nusa Tenggara Barat, Konsentrasi pusat perdagangan yang dipusatkan di daerah semenanjung malaka yang sekarang ini menjadi wilayah Singapura dan pusat pemerintahan yang dibangun di daerah Mojokerto, menjadi sebuah sejarah manis yang dapat diterapkan dengan kebijakan Sustainable Development yang salah satu rangsanganya adalah dengan merelokasi pusat pemerintahan ke Palangkaraya.

Wilayah Sulawesi dan Kepulauan Maluku dengan kekayaan laut melimpah dapat dijadikan titik fokus perikanan yang dapat dihandalkan. Produksi yang mencapai lebih dari 2 Juta Ton pada tahun 2011 dapat ditingkatkan lagi dengan kebijakan konsentrasi wilayah yang ada[3]. Kepulauan Nusa Tenggara dan Bali dengan keelokan pariwisata dapat menjadi senjata untuk menjadi kunci menarik pariwisata baik dari dalam maupun luar negeri. Daerah lain yang dapat diambil contoh konsentrasi adalah Papua dengan konsentrasi tambang mineralnya, Sumatera dengan perkebunan beratnya dan Pulau Jawa dengan konsentrasi agrarisnya. Semua itu dapat dikembangkan dengan konsep relokasi pusat pemerintahan sebagai upaya kontrol di depan.

Relokasi pusat pemerintahan juga akan berimbas terhadap program pemerintahan dalam hal untuk mereformasi birokrasi. Dalam sebuah konsep besar good governance, terdapat 3 pilar utama yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat. Jika kita kaitkan dengan relokasi pusat pemerintahan maka pilar pertama memiliki peran yang sangat penting yaitu terkait reformasi birokrasi. Jika reformasi birokrasi itu dikupas maka akan kita temukan dua agenda penting, pemberantasan korupsi dan percepatan pelayanan bagi masyarakat.  Relokasi pusat pemerintahan ke Palangkaraya akan menjadi solusi bagi stagnansi atau lambannya reformasi birokrasi saat ini, mengapa? Palangkaraya adalah wilayah dengan kriteria paling mendukung untuk dijadikan pusat pemerintahan. Hal ini dikarenakan :

1.     Terkait pemberantasan korupsi, Ada dua alasan Palangkaraya layak menjadi pusat pemerintahan, yaitu :
a.    Palangkaraya merupakan daerah dengan nilai IPK (indeks Persepsi Korupsi) tertinggi di Indonesia yakni 6,61. Hanya Palangkaraya yang nilai IPKnya di atas 6. Sebelas kota/kabupaten lainnya memiliki IPK di atas 5, adapun 20 lainnya masih di bawah 5. Nilai IPK di atas 5 membuktikan  tingginya optimisme peberantasan korupsi. Jadi, secara paradigma saja sudah ada suatu keinginan besar dalam memberantas korupsi, hal ini tentu suatu  permulaan yang baik[4]. 
b.   Pemindahan pusat pemerintahan ke Palangkaraya tentu akan memisahkan para pelaku bisnis yang ada di Jakarta dan para pejabat pemerintahan yang ada di Palangkaraya. Hal ini tentu akan memberikan suatu range atau jarak diantara mereka, sehingga intensitas mereka semakin dibatasi dan transaksi langsung menjadi sulit dilakukan.

2.        Terkait peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, ada beberapa alasan yang menegaskan Palangkaraya layak menjadi pusat pemerintahan :
a.  Palangkaraya memiliki letak yang strategis di tengah-tengah Indonesia sehingga memperkecil jarak daerah-daerah yang berada di ujung timur maupun barat. Dengan demikian, biaya perjalanan dinas pejabat pemerintahan menjadi lebih kecil, hal ini tentu jauh lebih efisien.\

Faktor-Faktor lainnya yang menjadi alasan kelayakan Palangka Raya sebagai  Pusat Pemerintahan yang baru :
1.    Secara geografis Palangkaraya memiliki luas wilayah 2.678,51 km2, sedangkan Jakarta hanya 661,52 km2. Selain itu Palangkaraya tidak berada pada daerah tektonik, sehingga menjadi daerah yang tidak rentan bencana seperti di pulau Jawa atau sumatera dan daerah Indonesia lainnya, sehingga mampu konsisten dalam pemberian pelayanan kepada seluruh daerah di Indonesia. Palangkaraya yang juga memiliki garis pantai sepanjang 750 km, hal ini tentu dapat menjadi opsi dalam pengelolaan sarana transportasi nantinya[5].
2.    Secara stabilitas keamanan dan pertahanan, Palangkaraya minim konflik, seperti daerah Papua dan Aceh. Sehingga pemerintah dapat terus fokus dalam menjalankan tugasnya.  Masalah Perang Sampit yang terjadi beberapa waktu lalu, sudah dapat terselesaikan dengan damai, karena ada sebuah perjanjian damai secara tertulis yang dibuat oleh suku dayak dengan pemerintah.
3.    Secara politik, Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, secara live di salah satu program stasiun televisi swasta menyatakan, Palangkaraya siap menjadi tempat pusat pemerintahan yang baru. Selain itu, hal ini juga dipertegas dalam Peraturan daerah No.1/2011 yang masuk dalam RPJMD provinsi Kalimantan Tengah[6].
4. Secara sosial, Masyarakat Kalimantan Tengah adalah masyarakat yang berfilosofikan Huma Betang (Rumah Panjang), dalam filosofi tersebut masyarakat dayak hidup dengan semangat kebersamaan dalam perbedaan. Budayawan sekaligus Guru Besar Universitas Palangkaraya, Prof. Norsanie Darlan mengatakan bahwa masyarakat Dayak tidak pernah menolak orang asing untuk datang ke daerah mereka selama tamu tersebut menjunjung tinggi adat istiadat dan kebudayaan setempat. Bahkan Teras Narang sendiri selaku Presiden Majelis Adat Dayak Nasional telah berkoordinasi dengan masyarakat Dayak dan menurutnya masyarakat memahami bahwa pemindahan ibukota adalah kebutuhan bangsa dan NKRI[7].

Contoh kasus pemindahan ibukota di beberapa negara :
·        Pada tahun 1960, Brazil memindahkan ibukotanya dari Rio de jeniero ke Brasilia dalam jangka waktu dua dekade. Namun Rio de Jeniero tetap menjadi pilihan utama Masyarakat Brazil;
·         Pada tahun 1911 India memindahkan ibukota dalam daerah yang sama dari Delhi menjadi New Delhi;
·         Pada tahun 1913 di Australia berdasarkan hasil sayembara dan sering jadi contoh sebagai salah satu kota dengan perencanaan tata ruang terbaik di dunia, Canbera akhirnya  menjadi ibukota baru Negara Australia;
·         Pada Tahun 1960 Pakistan memindahkan ibukotanya dari Karachi ke Islamabad serta Inggris pada tahun 1066 berhasil memindahkan ibukota dari Winchester ke London. Dua Negara ini dinilai berhasil memindahkan ibukotanya dikarenakan persiapan matang yang telah dilakukan baik secara fisik maupun sosial. Sehingga, pemindahan ibukota tersebut dapat menjadi solusi dari permasalahan yang ada bukan malah menghasilkan masalah baru;
Ibukota baru Kazakhstan di Astana
·         Ibukota baru Kazakhstan sejak 1997, Astana, saat ini telah menjadi kota terbesar kedua di asia tengah,  dengan berpopulasi 775.800 orang dengan luas wilayah 722 km2

Dalam upayanya untuk melakukan relokasi pusat pemerintahan tentu dibutuhkan langkah-langkah nyata yang harus segera diwujudkan sebagai bentuk keseriusan dalam rencana relokasi tersebut agar tidak berhenti dalam tataran wacana saja. Muncul gagasan dalam bentuk beberapa strategi yang diuraikan dalam beberapa tahapan agar proses relokasi ini mampu berjalan optimal dan segera terwujud. Beberapa tahapan yang harus dilakukan antara lain sebagai berikut :
1.    Berusaha memperoleh dukungan lembaga legislatif sebagai representasi masyarakat dalam menyukseskan program relokasi ini;
Þ    Tahap ini harus diperkuat dengan dasar hukum yang sah (dapat mebentuk UU khusus tentang relokasi) agar pelaksanaan pemindahannya mempunyai arah dan status legitimasi yang kuat secara yuridis.

2.    Membentuk tim khusus yang bertugas untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan proses relokasi baik di Jakarta maupun di Palangkaraya;
Þ    Tim ini dibentuk secara khusus oleh Presiden untuk menindaklanjuti UU relokasi yang telah disepakati sebelumnya. Tahapan penyiapannya mulai dari kesiapan aspek fisik, demografi, dan aspek-aspek sosial lain yang akan mempengaruhi proses pemindahan pusat pemerintahan termasuk kesiapan Palangkaraya untuk menjadi pusat kegiatan pemerintahan Indonesia yang baru dengan segala konsekuensi yang ada.

3.    Menggandeng pihak swasta yang mempunyai modal besar untuk bekerjasama dalam membangun gedung-gedung pusat pemerintahan yang baru dengan cara tukar guling dalam bentuk MoU yang jelas;
Þ    Ruilslag atau tukar guling barang milik/kekayaan negara adalah pertukaran tanah/bangunan milik negara yang letaknya strategis dan atau di tengah kota harus diserahkan kepada pihak ketiga (yang pada umumnya swasta) dan diganti aset baru sesuai dengan keinginan. Hal ini sangat cocok untuk dijadikan salah satu strategi relokasi pusat pemerintahan ini.

4.    Pemerintah harus membuat kebijakan khusus untuk mendatangkan arsitek ahli dalam hal penataan tata ruang kota yang ideal;
Þ    Tujuan dari hal ini tak lain adalah untuk membuat suatu tatanan kota ideal baru di Palangkaraya yang memenuhi standar kota pusat pemerintahan yang baik sehingga dapat unggul dari segala sektor seperti : jasa transportasi, kebersihan lingkungan, akses pelayanan terhadap masyarakat, keramahan lingkungan, dan kehidupan sosial lainnya agar terkondisikan secara kondusif.

5.    Pemerintah juga harus mencanangkan hal ini sebagai program pembangunan Indonesia berkelanjutan dengan menggagas konsentrasi teritorial yang pembiayaannya diatur secara bertahap setiap tahunnya dengan mempertimbangkan surplus dan defisit APBN yang ada;
Þ    Hal ini bertujuan untuk menghindari pembangunan yang berhenti di tengah jalan karena tidak adanya dukungan kapital yang kuat dari pemerintah. Kemampuan pembiayaan APBN harus memperhatikan kalkulasi ekonomis agar pengeluaran negara dapat dilakukan se-efisien mungkin.
Dari berbagai penjelasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik suatu benang merah yang kemudian dapat menjadi suatu kesimpulan antara lain :
1.    Kapasitas Jakarta sudah terlalu berat menanggung beban sosial-ekonomi masyarakatnya sendiri. Kelebihan kapasitas kota ini telah memproduksi berbagai macam masalah ekologis, demografi maupun masalah sosial lainnya. Perlu pembagian pusat kegiatan untuk mengurangi beban sosial-ekonomi tersebut;

2.    Wacana pemindahan Ibu Kota secara etis tetap tidak boleh menodai nilai-nilai kronologis yang lebih dahulu terbentuk melalui sejarah kemerdekaan Indonesia. Diperlukan kebijaksanaan pemerintah dalam menyikapi hal ini. Kebijakan yang dianggap paling rasional di antara opsi-opsi lainnya adalah pemindahan pusat pemerintahan ke kota lainnya dan tetap mempertahankan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara yang berkonsentrasi pada kegiatan bisnis, hiburan dan perdagangan yang lebih kepada profit oriented;

3.    Kota Palangkaraya menjadi kota yang paling potensial untuk dijadikan pusat pemerintahan Indonesia tentunya dengan memperhatikan berbagai aspek yang dijadikan pertimbangan dalam menentukan kelayakan dan kesiapannya. Untuk itu diperlukan strategi dan langkah nyata untuk memindahkan pusat pemerintahan agar gagasan ini dapat berjalan efektif dan tidak berakhir pada tataran wacana saja, tentunya dalam upaya mewujudkan wajah baru Indonesia masa depan yang lebih baik.




Daftar Pustaka :

Djakapermana, Ruchyat Deni, 2010, Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Kesisteman, Bogor : IPB Press

Labolo, Muhadam, 2013, Hasil Penelitian Mandiri : Faktor-Faktor Kelayakan Relokasi Pusat Pemerintahan Di Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah, Jakarta : Lembaga Penelitian dan Pengembangan IPDN


[1] www.merdeka.com “Mimpi Soekarno Pindahkan Ibukota ke Palangkaraya” tanggal 17 Januari 2013 diakses tanggal 28 September 2013.
[2] Berdasarkan hasil sensus BPS tahun 2010 bahwa terjadi perbedaan yang sangat timpang antara Jakarta dengan kota lain seperti Papua Barat yang berada di urutan terbawah dengan tingkat kepadatan penduduk 8 jiwa/KM2  dan jauh diatas rata-rata tingkat kepadatan penduduk Indonesia yang hanya 124 jiwa/KM2.
[3] Badan Pusat Statistik tentang Produksi Perikanan Tangkap Menurut Provinsi Tahun 2005-2011
[4] Hasil survey dari Lembaga independen Trancparancy International Indonesia pada tahun 2006.
[6] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar