Oleh :
Ahmad
Oktabri Widyananda, S.IP
La Ode
Buzyali Fajman Sanbigs, S.IP
Singgih
Usman Fuadi, S.IP
(Purna Praja IPDN Angkatan 21)
*disusun saat mengikuti lomba debat mahasiwa se-Jabodetabek yang diselenggarakan oleh TVOne dan Bank BNI
*disusun saat mengikuti lomba debat mahasiwa se-Jabodetabek yang diselenggarakan oleh TVOne dan Bank BNI
Relokasi pusat ibukota yang juga berfungsi sebagai pusat
pemerintahan bukanlah hal yang baru dibicarakan. Presiden pertama Ir. Soekarno
bahkan telah meramalkan bahwa suatu saat Kota Jakarta akan tumbuh menjadi kota
yang tidak terkendali, sehingga perlu adanya relokasi pusat ibukota ke daerah
lain dimana Ir.Soekarno langsung mengatakan Kota Palangkaraya layak untuk
dijadikan alternatif dengan alasan letak pulau Kalimantan yang berada di tengah
gugus kepulauan Indonesia dan menghilangkan sentralistik jawa[1].
Pola pikir masyarakat masih cenderung berfikir bahwa
munculnya kembali masalah relokasi pusat ibukota keluar dari Jakarta hanya
semata-mata untuk mengatasi masalah Jakarta yang tidak kunjung dapat
terselesaikan dengan baik. Jumlah penduduk Jakarta yang pada hasil perhitungan sensus penduduk
tahun 2010 telah menunjukkan angka 10,19 juta jiwa yang artinya bahwa Kota
Jakarta mempunyai tingkat kepadatan penduduk 14.000/KM2 menempati
urutan pertama tingkat kepadatan penduduk di Indonesia[2].
Masalah lain yang muncul adalah tentang kemacetan dan banjir dimana masalah
tersebut semakin lama bukan semakin teratasi tetapi nampak semakin bertambah
parah. Sempitnya pemikiran akan proses pembangunan menjadi kendala mengapa
proses relokasi tidak dapat terealisasi karena terkesan bahwa relokasi pusat
ibukota atau pusat pemerintahan hanya memikirkan masalah Jakarta tanpa
memikirkan daerah-daerah lain terkhusus daerah di luar jawa.
Pilihan hanya memindahkan pusat pemerintahan menjadi
salah satu alternatif dalam kerangka sebuah proses pembangunan berkelanjutan
tanpa menghilangkan aspek historis yang telah melekat pada Kota Jakarta. Berpindahnya
pusat pemerintahan ke daerah lain seperti Kota Palangkaraya dengan berbagai
alasan dan faktor kelayakan akan menjadi sebuah “Matahari” bagi daerah lain
untuk dapat mengembangkan diri. Bergesernya Pusat Pemerintahan ke Kota
Palangkaraya paling tidak akan menciptakan 2 kawasan yang masing-masing
mempunyai konsentrasi teritorial, dimana Jakarta setelah bergesernya pusat
pemerintahan akan dapat berfungsi sebagai kota dengan konsentrasi bisnis,
perdagangan dan hiburan yang keseluruhannya adalah profit oriented, sedangkan Kota Palangkaraya akan berfokus pada
jalannya sistem pemerintahan nasional yang orientasinya adalah untuk
menjalankan fungsi pemerintahan yaitu fungsi pelayanan, regulasi dan
pemberdayaan. Konsep konsentrasi kawasan tersebut sebenarnya telah dimiliki
oleh pendahulu negeri ini jika kita mampu melihat sejarah, dimana keberhasilan
konsep tersebut sukses diterapkan pada masa Kerajaan Majapahit.
Peta Nusantara Masa Kerajaan Majapahit |
Kesuksesan Majapahit dengan konsentrasi wilayahnya dengan
membangun titik fokus di beberapa bidang semisal dalam hal pusat armada lautnya
dititikfokuskan di daerah Nusa Tenggara Barat, Konsentrasi pusat perdagangan
yang dipusatkan di daerah semenanjung malaka yang sekarang ini menjadi wilayah
Singapura dan pusat pemerintahan yang dibangun di daerah Mojokerto, menjadi
sebuah sejarah manis yang dapat diterapkan dengan kebijakan Sustainable Development yang salah satu
rangsanganya adalah dengan merelokasi pusat pemerintahan ke Palangkaraya.
Wilayah Sulawesi dan Kepulauan Maluku dengan kekayaan laut
melimpah dapat dijadikan titik fokus perikanan yang dapat dihandalkan. Produksi
yang mencapai lebih dari 2 Juta Ton pada tahun 2011 dapat ditingkatkan lagi
dengan kebijakan konsentrasi wilayah yang ada[3].
Kepulauan Nusa Tenggara dan Bali dengan keelokan pariwisata dapat menjadi
senjata untuk menjadi kunci menarik pariwisata baik dari dalam maupun luar
negeri. Daerah lain yang dapat diambil contoh konsentrasi adalah Papua dengan
konsentrasi tambang mineralnya, Sumatera dengan perkebunan beratnya dan Pulau
Jawa dengan konsentrasi agrarisnya. Semua itu dapat dikembangkan dengan konsep
relokasi pusat pemerintahan sebagai upaya kontrol di depan.
Relokasi pusat pemerintahan juga akan berimbas terhadap
program pemerintahan dalam hal untuk mereformasi birokrasi. Dalam sebuah konsep
besar good governance, terdapat 3
pilar utama yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat. Jika kita kaitkan dengan
relokasi pusat pemerintahan maka pilar pertama memiliki peran yang sangat penting
yaitu terkait reformasi birokrasi. Jika reformasi birokrasi itu dikupas maka
akan kita temukan dua agenda penting, pemberantasan korupsi dan percepatan
pelayanan bagi masyarakat. Relokasi
pusat pemerintahan ke Palangkaraya akan menjadi solusi bagi stagnansi atau
lambannya reformasi birokrasi saat ini, mengapa? Palangkaraya adalah wilayah
dengan kriteria paling mendukung untuk dijadikan pusat pemerintahan. Hal ini
dikarenakan :
1. Terkait pemberantasan
korupsi, Ada dua alasan Palangkaraya layak menjadi pusat pemerintahan, yaitu :
a. Palangkaraya
merupakan daerah dengan nilai IPK (indeks Persepsi Korupsi) tertinggi di
Indonesia yakni 6,61. Hanya Palangkaraya yang nilai IPKnya di atas 6. Sebelas
kota/kabupaten lainnya memiliki IPK di atas 5, adapun 20 lainnya masih di bawah
5. Nilai IPK di atas 5 membuktikan
tingginya optimisme peberantasan korupsi. Jadi, secara paradigma saja
sudah ada suatu keinginan besar dalam memberantas korupsi, hal ini tentu
suatu permulaan yang baik[4].
b. Pemindahan
pusat pemerintahan ke Palangkaraya tentu akan memisahkan para pelaku bisnis
yang ada di Jakarta dan para pejabat pemerintahan yang ada di Palangkaraya. Hal
ini tentu akan memberikan suatu range
atau jarak diantara mereka, sehingga intensitas mereka semakin dibatasi dan
transaksi langsung menjadi sulit dilakukan.
2.
Terkait peningkatan kualitas
pelayanan kepada masyarakat, ada beberapa alasan yang menegaskan Palangkaraya
layak menjadi pusat pemerintahan :
a. Palangkaraya
memiliki letak yang strategis di tengah-tengah Indonesia sehingga memperkecil
jarak daerah-daerah yang berada di ujung timur maupun barat. Dengan demikian,
biaya perjalanan dinas pejabat pemerintahan menjadi lebih kecil, hal ini tentu
jauh lebih efisien.\
Faktor-Faktor lainnya yang menjadi alasan kelayakan
Palangka Raya sebagai Pusat Pemerintahan
yang baru :
1. Secara
geografis Palangkaraya memiliki luas wilayah 2.678,51 km2, sedangkan
Jakarta hanya 661,52 km2. Selain itu Palangkaraya tidak berada pada
daerah tektonik, sehingga menjadi daerah yang tidak rentan bencana seperti di
pulau Jawa atau sumatera dan daerah Indonesia lainnya, sehingga mampu konsisten
dalam pemberian pelayanan kepada seluruh daerah di Indonesia. Palangkaraya yang
juga memiliki garis pantai sepanjang 750 km, hal ini tentu dapat menjadi opsi
dalam pengelolaan sarana transportasi nantinya[5].
2. Secara
stabilitas keamanan dan pertahanan, Palangkaraya minim konflik, seperti daerah
Papua dan Aceh. Sehingga pemerintah dapat terus fokus dalam menjalankan
tugasnya. Masalah Perang Sampit yang
terjadi beberapa waktu lalu, sudah dapat terselesaikan dengan damai, karena ada
sebuah perjanjian damai secara tertulis yang dibuat oleh suku dayak dengan
pemerintah.
3. Secara
politik, Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, secara live di salah satu program stasiun
televisi swasta menyatakan, Palangkaraya siap menjadi tempat pusat pemerintahan
yang baru. Selain itu, hal ini juga dipertegas dalam Peraturan daerah No.1/2011
yang masuk dalam RPJMD provinsi Kalimantan Tengah[6].
4. Secara
sosial, Masyarakat Kalimantan Tengah adalah masyarakat yang berfilosofikan Huma Betang (Rumah Panjang), dalam
filosofi tersebut masyarakat dayak hidup dengan semangat kebersamaan dalam
perbedaan. Budayawan sekaligus Guru Besar Universitas Palangkaraya, Prof.
Norsanie Darlan mengatakan bahwa masyarakat Dayak tidak pernah menolak orang
asing untuk datang ke daerah mereka selama tamu tersebut menjunjung tinggi adat
istiadat dan kebudayaan setempat. Bahkan Teras Narang sendiri selaku Presiden
Majelis Adat Dayak Nasional telah berkoordinasi dengan masyarakat Dayak dan
menurutnya masyarakat memahami bahwa pemindahan ibukota adalah kebutuhan bangsa
dan NKRI[7].
Contoh
kasus pemindahan ibukota di beberapa negara :
· Pada tahun 1960, Brazil
memindahkan ibukotanya dari Rio de jeniero ke Brasilia dalam jangka waktu dua
dekade. Namun Rio de Jeniero tetap menjadi pilihan utama Masyarakat Brazil;
·
Pada tahun 1911 India
memindahkan ibukota dalam daerah yang sama dari Delhi menjadi New Delhi;
·
Pada tahun 1913 di Australia
berdasarkan hasil sayembara dan sering jadi contoh sebagai salah satu kota
dengan perencanaan tata ruang terbaik di dunia, Canbera akhirnya menjadi ibukota baru Negara Australia;
·
Pada Tahun 1960 Pakistan
memindahkan ibukotanya dari Karachi ke Islamabad serta Inggris pada tahun 1066
berhasil memindahkan ibukota dari Winchester ke London. Dua Negara ini dinilai
berhasil memindahkan ibukotanya dikarenakan persiapan matang yang telah
dilakukan baik secara fisik maupun sosial. Sehingga, pemindahan ibukota
tersebut dapat menjadi solusi dari permasalahan yang ada bukan malah
menghasilkan masalah baru;
Ibukota baru Kazakhstan di Astana |
·
Ibukota baru Kazakhstan
sejak 1997, Astana, saat ini telah menjadi kota terbesar kedua di asia tengah, dengan berpopulasi 775.800 orang dengan luas
wilayah 722 km2.
Dalam upayanya untuk melakukan relokasi pusat
pemerintahan tentu dibutuhkan langkah-langkah nyata yang harus segera
diwujudkan sebagai bentuk keseriusan dalam rencana relokasi tersebut agar tidak
berhenti dalam tataran wacana saja. Muncul gagasan dalam bentuk beberapa
strategi yang diuraikan dalam beberapa tahapan agar proses relokasi ini mampu
berjalan optimal dan segera terwujud. Beberapa tahapan yang harus dilakukan
antara lain sebagai berikut :
1. Berusaha
memperoleh dukungan lembaga legislatif sebagai representasi masyarakat dalam
menyukseskan program relokasi ini;
Þ
Tahap
ini harus diperkuat dengan dasar hukum yang sah (dapat mebentuk UU khusus
tentang relokasi) agar pelaksanaan pemindahannya mempunyai arah dan status
legitimasi yang kuat secara yuridis.
2. Membentuk
tim khusus yang bertugas untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan
proses relokasi baik di Jakarta maupun di Palangkaraya;
Þ
Tim
ini dibentuk secara khusus oleh Presiden untuk menindaklanjuti UU relokasi yang
telah disepakati sebelumnya. Tahapan penyiapannya mulai dari kesiapan aspek
fisik, demografi, dan aspek-aspek sosial lain yang akan mempengaruhi proses
pemindahan pusat pemerintahan termasuk kesiapan Palangkaraya untuk menjadi
pusat kegiatan pemerintahan Indonesia yang baru dengan segala konsekuensi yang
ada.
3. Menggandeng
pihak swasta yang mempunyai modal besar untuk bekerjasama dalam membangun
gedung-gedung pusat pemerintahan yang baru dengan cara tukar guling dalam
bentuk MoU yang jelas;
Þ
Ruilslag atau tukar guling barang milik/kekayaan negara adalah pertukaran
tanah/bangunan milik negara yang letaknya strategis dan atau di tengah kota
harus diserahkan kepada pihak ketiga (yang pada umumnya swasta) dan diganti
aset baru sesuai dengan keinginan. Hal ini sangat cocok untuk dijadikan salah
satu strategi relokasi pusat pemerintahan ini.
4. Pemerintah
harus membuat kebijakan khusus untuk mendatangkan arsitek ahli dalam hal penataan tata ruang kota yang ideal;
Þ
Tujuan
dari hal ini tak lain adalah untuk membuat suatu tatanan kota ideal baru di
Palangkaraya yang memenuhi standar kota pusat pemerintahan yang baik sehingga
dapat unggul dari segala sektor seperti : jasa transportasi, kebersihan
lingkungan, akses pelayanan terhadap masyarakat, keramahan lingkungan, dan
kehidupan sosial lainnya agar terkondisikan secara kondusif.
5. Pemerintah
juga harus mencanangkan hal ini sebagai program pembangunan Indonesia
berkelanjutan dengan menggagas konsentrasi teritorial yang pembiayaannya diatur
secara bertahap setiap tahunnya dengan mempertimbangkan surplus dan defisit
APBN yang ada;
Þ
Hal
ini bertujuan untuk menghindari pembangunan yang berhenti di tengah jalan
karena tidak adanya dukungan kapital yang kuat dari pemerintah. Kemampuan
pembiayaan APBN harus memperhatikan kalkulasi ekonomis agar pengeluaran negara
dapat dilakukan se-efisien mungkin.
Dari berbagai penjelasan yang telah diuraikan, maka dapat
ditarik suatu benang merah yang kemudian dapat menjadi suatu kesimpulan antara
lain :
1. Kapasitas Jakarta sudah
terlalu berat menanggung beban sosial-ekonomi masyarakatnya sendiri. Kelebihan
kapasitas kota ini telah memproduksi berbagai macam masalah ekologis, demografi
maupun masalah sosial lainnya. Perlu pembagian pusat kegiatan untuk mengurangi
beban sosial-ekonomi tersebut;
2. Wacana pemindahan Ibu Kota
secara etis tetap tidak boleh menodai nilai-nilai kronologis yang lebih dahulu
terbentuk melalui sejarah kemerdekaan Indonesia. Diperlukan kebijaksanaan
pemerintah dalam menyikapi hal ini. Kebijakan yang dianggap paling rasional di
antara opsi-opsi lainnya adalah pemindahan pusat pemerintahan ke kota lainnya
dan tetap mempertahankan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara yang berkonsentrasi
pada kegiatan bisnis, hiburan dan perdagangan yang lebih kepada profit oriented;
3. Kota Palangkaraya menjadi
kota yang paling potensial untuk dijadikan pusat pemerintahan Indonesia
tentunya dengan memperhatikan berbagai aspek yang dijadikan pertimbangan dalam
menentukan kelayakan dan kesiapannya. Untuk itu diperlukan strategi dan langkah
nyata untuk memindahkan pusat pemerintahan agar gagasan ini dapat berjalan
efektif dan tidak berakhir pada tataran wacana saja, tentunya dalam upaya
mewujudkan wajah baru Indonesia masa depan yang lebih baik.
Daftar Pustaka :
Djakapermana,
Ruchyat Deni, 2010, Pengembangan Wilayah
Melalui Pendekatan Kesisteman, Bogor : IPB Press
Labolo,
Muhadam, 2013, Hasil Penelitian Mandiri :
Faktor-Faktor Kelayakan Relokasi Pusat Pemerintahan Di Kota Palangkaraya
Provinsi Kalimantan Tengah, Jakarta : Lembaga Penelitian dan Pengembangan
IPDN
[1] www.merdeka.com “Mimpi
Soekarno Pindahkan Ibukota ke Palangkaraya” tanggal 17 Januari 2013 diakses
tanggal 28 September 2013.
[2] Berdasarkan hasil sensus BPS tahun 2010 bahwa terjadi perbedaan
yang sangat timpang antara Jakarta dengan kota lain seperti Papua Barat yang
berada di urutan terbawah dengan tingkat kepadatan penduduk 8 jiwa/KM2 dan jauh diatas rata-rata tingkat kepadatan
penduduk Indonesia yang hanya 124 jiwa/KM2.
[3] Badan Pusat Statistik tentang Produksi Perikanan Tangkap Menurut
Provinsi Tahun 2005-2011
[4] Hasil survey dari Lembaga independen Trancparancy International Indonesia pada tahun 2006.
[6] ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar