Tergelitik
untuk mulai coret-coret lagi tentang hot
news di republik kita tercinta, mungkin bisa dibilang tidak hanya di media
lokal, karena berita nya pun sudah jadi konsumsi media internasional. Sebetulnya
mencoba untuk menghindari topik ini karena begitu sangat sensitif dan bagi yang
punya pasangan berbeda pandangan (apalagi suami istri), jangan coba-coba
berdebat atau silang pendapat jika tidak mau berubah jadi adu mulut..Trust
Me....!!!! :)
Ya...kasus
dugaan Penistaan Agama yang menjerat pak Ahok, yang telah dijadikan tersangka
oleh aparat penegak hukum. Saya masih menulis kata “dugaan” karena menghormati
beliau yang masih berstatus tersangka dan harus menjalani proses pengadilan
untuk pembuktian lebih lanjut (entah hilang status tersangkanya atau naik
menjadi terdakwa dan terpidana).
Sebelum
memulai ulasan saya (Ya ini pendapat dari sudut pandang pribadi saya), ada
beberapa hal yang saya kira masih menjadi tanda tanya besar dalam kasus pak
Ahok yaitu :
Apa itu
sebenarnya arti toleransi ? Kemudian,
Siapakah
yang pertama kali mengeluarkan statement (ingat ya...statement/pernyataan,
bukan pertanyaan) tentang Intoleran ?
Siapakah
yang pertama kali mengeluarkan statement melarang (Melarang dalam konteks kata
melarang, jangan memakai kata yang multi
tafsir kemudian dikatakan sama artinya dengan melarang) pak Ahok untuk menjadi
gubernur ?
Lalu
siapakah yang kemudian pertama kali dalam masalah ini, yang memunculkan
kata-kata “anti kristen”, “anti cina” dan “anti NKRI” ?
(Mungkin bisa dibantu untuk menjawab pertanyaan saya diatas)
Kasus
ini bermula dari ucapan pak Ahok sewaktu melakukan kunjungan kerja sebagai
Gubernur DKI Jakarta di Kabupaten Kepulauan Seribu. Terdapat pernyataan beliau
yang kemudian dipublikasikan oleh Buni Yani (Entah video tersebut awalnya
memang Buni Yani yang menyebarkan atau tidak) dilengkapi dengan Caption yang menurut sebagian orang
menjadi awal munculnya berbagai pertentangan yang cukup besar terhadap pak
Ahok.
Pertentangan
terhadap apakah perkataan tersebut tergolong penistaan agama atau tidak menjadi
semakin besar, terlebih Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan pendapat dan
sikap bahwa perkataan pak Ahok dikategorikan menghina alquran dan atau menghina
ulama yang memiliki konsekwensi hukum. Kontan saja hal tersebut menjadi
perbincangan yang sangat ramai di berbagai media. Pro dan kontra muncul terkait
sikap dan pendapat yang telah dikeluarkan MUI. Memanasnya perdebatan terkait
pernyataan yang dikeluarkan pak Ahok tidak dapat dielakkan, mengingat yang
bersangkutan ikut bertarung dalam proses pilkada DKI Jakarta. Sebenarnya patut
disayangkan pak Ahok mengeluarkan pernyataan tersebut, karena pada saat itu
yang dilakukan adalah berbincang dengan masyarakat Kepulauan Seribu dalam
rangka kunjungan kerja terkait jabatannya sebagai kepala daerah, bukan sebagai
peserta pilkada.
Media
pun tidak lepas untuk turut andil dalam perkembangan kasus dugaan penistaan
agama ini. Saling serang statement
antar pihak yang pro dan kontra tidak dapat dihindari. Media cetak maupun media
elektronik mendapatkan bahan pemberitaan yang begitu indah untuk diangkat
menjadi tema perbincangan. Masing-masing media mempunyai gaya Framing yang berbeda, dimana perbedaan cara
pemberitaan media sepertinya sudah menunjukkan keberpihakan dalam penyelesaian
kasus ini.
Media
sosial menjadi ajang paling panas dalam perseteruan pihak yang pro dan kontra. Kondisi
tersebut diperparah dengan berbagai berita yang tidak jelas asal usul dan
kebenaranya. Copy, Paste and Share menjadi
cara termudah untuk menyebarkan berita. Orang hanya akan Copy, Paste and Share terhadap informasi yang sekiranya sependapat
atau sejalan dengan apa yang menjadi jalan pikiranya, yang lebih parah adalah
sudah enggan menerima masukan dari orang lain. Saling serang pendapat tidak
berhenti begitu saja, melainkan sudah saling menjatuhkan satu sama lain.
Aksi
nyata kemudian dilakukan oleh umat islam (walaupun tidak semua) dengan
menyuarakan aspirasi mereka terhadap penuntasan masalah dugaan penistaan agama.
Aksi menyuarakan aspirasi tersebut hingga digelar sebanyak 3 kali di sekitar
wilayah Jl. Medan Merdeka Jakarta. Aksi tersebut dianggap sebagian orang
merupakan aksi yang sudah ditunggangi dengan kepentingan politik untuk
menjatuhkan pak Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta, sehingga banyak yang
menganggap kegiatan tersebut dinilai tidak tepat. Terpisah apakah memang ada
atau tidak, tapi pernyataan yang dilontarkan pak Ahok di Kepulauan Seribu
awalnya sudah bernuansa politis (mengingat kegiatan yang dilakukan adalah
kunjungan kerja), sehingga tidak heran apabila ada (belum tentu ada ya) oknum
yang memanfaatkan kegiatan tersebut, ibarat peribahasa Gayung Bersambut, Kata
Terjawab. Bahkan kalau diamati ada yang menunggangi bahkan ada yang membayar
500ribu, saya kira sesuatu hal yang mustahil. Bayangkan saja berapa modal yang
harus dikeluarkan untuk membayar orang sebanyak itu dengan hasil yang
damai-damai saja ? sangatlah tidak sebanding !!!
Lucunya
adalah setelah aksi yang dilakukan umat islam dalam menyuarakan aspirasinya,
terkesan dilaksanakan aksi tandingan dengan mengangkat tema entah itu persatuan,
NKRI ataupun kebhinekaan yang terkesan mempersepsikan aksi yang dilakukan umat
islam adalah aksi yang tidak mencerminkan persatuan, tidak mencerminkan adanya
NKRI dan tidak mencerminkan kebhinekaan. Lebih anehnya lagi adalah munculnya
kata-kata bahwa anti kristen-lah, anti cina-lah, atau anti NKRI-lah, sehingga
itu yang menjadi salah satu pertanyaan besar saya “Siapa yang pertama kali
memunculkan kalimat itu ?”.
Para
ulama hanya mengingatkan umatnya apa yang ada di dalam alquran (kitab suci
pemeluk agama islam), jadi yang merasa bukan agama islam tidak perlu
mengomentari bahkan repot dengan isi di dalamnya dengan berkata “Islam Garis
Keras”. Bahkan bagi pemeluk islam sendiri sebenarnya tidak perlu memperdebatkan,
yang mau mengikuti ajakan ulama silahkan, dan yang tidak ya tidak perlu berkata
“nyinyir” dengan ajaran pedomannya sendiri. Isi kandunganya nya bukan untuk
menyerang agama lain, tetapi hanya pada konteks tertentu kita dilarang. Aneh
bin ajaibnya adalah, ada yang membuat status “.....masih mau pakai buatan
barang non muslim” atau “.....masih mau makan buatan non muslim”, sesuatu
pernyataan yang konyol mungkin bisa dikatakan seperti itu (Jaka Sembung Naik
Odong-Odong, Ga Nyambung Donggg). Cukup hormati saja apa yang sudah menjadi
ajaran agama lain tanpa ikut mencampuri. Kita masih hidup rukun tentram adil
dan damai dengan pemeluk agama lain bukan ? tanpa harus mencampuri ajaran agama
lain. Bahkan apabila yang sudah merasakan hidup di asrama, mungkin tidak perlu
kita jelaskan dan tidak perlu kita teriakkan kepada mereka apa itu toleransi,
tetapi justru seharusnya kita harus belajar makna toleransi sebenarnya kepada
mereka.
Anti
cina ? kalau mau dikatakan anti cina jelas ngarang. Tidak akan hidup tenang saudara-saudara
kita apabila kita sudah anti cina. Tidak akan tenang mereka membuka toko-toko ataupun
usaha mereka di sepanjang jalan di seluruh wilayah di Indonesia. Kita menyadari
betul keberagamaan yang ada di negeri kita tercinta ini. Jadi tidak perlu
membesarkan masalah dengan isu etnis. Toh..tidak sedikit pejabat negara yang
sukses membawa negeri ini yang berasal dari etnis tionghoa.
Anti
NKRI ? adakah tuntutan dalam aksi kemarin ingin memecah negara kesatuan yang
berbentuk republik ini menjadi negara bagian ? justru yang ada adalah
sekelompok oknum (saya katakan oknum !!) yang mencoba mengangkat isu untuk
memisahkan diri dari Indonesia apabila pak Ahok tidak boleh menjadi kepala daerah.
Siapa yang mengatakan tidak boleh ? silahkan...itu hak konstitusional beliau
sebagai warga negara untuk dipilih dan
memilih. Jangan gagal fokus .....
Masyarakat
harus pandai memilih informasi. Saya katakan disini memilih informasi karena
informasi yang beredar begitu banyak sehingga hampir sulit dibedakan informasi
yang memang sesuai fakta, atau hanya sekedar informasi abal-abal. Kedua belah
pihak yang pro dan kontra jangan hanya asal Copy,
Paste and Share terkait berita yang sudah sesuai dengan jalan pikiran
masing-masing. Jikalau memang sudah sesuai dengan fakta yang ada, silahkan jika
ingin disebarkan, namun juga jangan dibarengi dengan caption yang “nyinyir” dan terkesan provokasi. Namun apabila belum
tau keabsahan beritanya, lebih baik diam daripada anda hanya sebagai oknum yang
menjadi suasana menjadi lebih keruh, yang pada akhirnya tidak akan memberikan manfaat
lain selain hanya akan menyebabkan saling benci, saling hina dan mencaci maki.
Kasus
ini begitu banyak memberikan pelajaran bagi seluruh lapisan masyarakat. Pernyataan
yang disampaikan pak Ahok jelas tidak akan menimbulkan gejolak sosial yang
begitu besar apabila hanya orang biasa. Sangat wajar bila gejolak sosial begitu
luar biasa karena yang melontarkan pernyataan adalah sosok pejabat publik
terlebih kepala daerah ibukota negara. Pejabat publik tentunya harus
berhati-hati dalam memberikan pernyataan kepada khalayak karena apa yang
terlontar dari setiap lisan pejabat publik dapat dijadikan sebuah dasar dan
acuan. Etika pemerintahan tentunya akan menjadi panduan bagaimana setiap insan
pemerintahan mampu mewujudkan etika yang sudah menjadi ciri khas bangsa
indonesia.
Proses
hukum sudah berlangsung dan kita sebagai warga negara di negara hukum harus
menghormati proses hukum yang sudah dilakukan. Kita harus mendukung berdirinya
supremasi hukum yang adil, bermartabat, dan tidak ada intervensi dan aparat penegak hukum bisa menjalankan amanah yang diberikan secara profesional dan dengan penuh tanggung jawab atas nama profesi. Selain itu
kita sebagai warga negara mempunyai tanggung jawab besar bersama yaitu harus
terus menjaga NKRI agar tetap berjalan sesuai dengan tujuan Bangsa Indonesia
yang sesuai UUD 1945 dan Pancasila. (oes13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar