Minggu, 11 Desember 2016

Kasus Dugaan Penistaan Agama oleh Ahok

Tergelitik untuk mulai coret-coret lagi tentang hot news di republik kita tercinta, mungkin bisa dibilang tidak hanya di media lokal, karena berita nya pun sudah jadi konsumsi media internasional. Sebetulnya mencoba untuk menghindari topik ini karena begitu sangat sensitif dan bagi yang punya pasangan berbeda pandangan (apalagi suami istri), jangan coba-coba berdebat atau silang pendapat jika tidak mau berubah jadi adu mulut..Trust Me....!!!!  :) 


Ya...kasus dugaan Penistaan Agama yang menjerat pak Ahok, yang telah dijadikan tersangka oleh aparat penegak hukum. Saya masih menulis kata “dugaan” karena menghormati beliau yang masih berstatus tersangka dan harus menjalani proses pengadilan untuk pembuktian lebih lanjut (entah hilang status tersangkanya atau naik menjadi terdakwa dan terpidana).

Sebelum memulai ulasan saya (Ya ini pendapat dari sudut pandang pribadi saya), ada beberapa hal yang saya kira masih menjadi tanda tanya besar dalam kasus pak Ahok yaitu :
Apa itu sebenarnya arti toleransi ? Kemudian,

Siapakah yang pertama kali mengeluarkan statement (ingat ya...statement/pernyataan, bukan pertanyaan) tentang Intoleran ?

Siapakah yang pertama kali mengeluarkan statement melarang (Melarang dalam konteks kata melarang,  jangan memakai kata yang multi tafsir kemudian dikatakan sama artinya dengan melarang) pak Ahok untuk menjadi gubernur ?

Lalu siapakah yang kemudian pertama kali dalam masalah ini, yang memunculkan kata-kata “anti kristen”, “anti cina” dan “anti NKRI” ?
(Mungkin bisa dibantu untuk menjawab pertanyaan saya diatas)

Kasus ini bermula dari ucapan pak Ahok sewaktu melakukan kunjungan kerja sebagai Gubernur DKI Jakarta di Kabupaten Kepulauan Seribu. Terdapat pernyataan beliau yang kemudian dipublikasikan oleh Buni Yani (Entah video tersebut awalnya memang Buni Yani yang menyebarkan atau tidak) dilengkapi dengan Caption yang menurut sebagian orang menjadi awal munculnya berbagai pertentangan yang cukup besar terhadap pak Ahok.

Pertentangan terhadap apakah perkataan tersebut tergolong penistaan agama atau tidak menjadi semakin besar, terlebih Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan pendapat dan sikap bahwa perkataan pak Ahok dikategorikan menghina alquran dan atau menghina ulama yang memiliki konsekwensi hukum. Kontan saja hal tersebut menjadi perbincangan yang sangat ramai di berbagai media. Pro dan kontra muncul terkait sikap dan pendapat yang telah dikeluarkan MUI. Memanasnya perdebatan terkait pernyataan yang dikeluarkan pak Ahok tidak dapat dielakkan, mengingat yang bersangkutan ikut bertarung dalam proses pilkada DKI Jakarta. Sebenarnya patut disayangkan pak Ahok mengeluarkan pernyataan tersebut, karena pada saat itu yang dilakukan adalah berbincang dengan masyarakat Kepulauan Seribu dalam rangka kunjungan kerja terkait jabatannya sebagai kepala daerah, bukan sebagai peserta pilkada.

Media pun tidak lepas untuk turut andil dalam perkembangan kasus dugaan penistaan agama ini. Saling serang statement antar pihak yang pro dan kontra tidak dapat dihindari. Media cetak maupun media elektronik mendapatkan bahan pemberitaan yang begitu indah untuk diangkat menjadi tema perbincangan. Masing-masing media mempunyai gaya Framing yang berbeda, dimana perbedaan cara pemberitaan media sepertinya sudah menunjukkan keberpihakan dalam penyelesaian kasus ini.

Media sosial menjadi ajang paling panas dalam perseteruan pihak yang pro dan kontra. Kondisi tersebut diperparah dengan berbagai berita yang tidak jelas asal usul dan kebenaranya. Copy, Paste and Share menjadi cara termudah untuk menyebarkan berita. Orang hanya akan Copy, Paste and Share terhadap informasi yang sekiranya sependapat atau sejalan dengan apa yang menjadi jalan pikiranya, yang lebih parah adalah sudah enggan menerima masukan dari orang lain. Saling serang pendapat tidak berhenti begitu saja, melainkan sudah saling menjatuhkan satu sama lain.

Aksi nyata kemudian dilakukan oleh umat islam (walaupun tidak semua) dengan menyuarakan aspirasi mereka terhadap penuntasan masalah dugaan penistaan agama. Aksi menyuarakan aspirasi tersebut hingga digelar sebanyak 3 kali di sekitar wilayah Jl. Medan Merdeka Jakarta. Aksi tersebut dianggap sebagian orang merupakan aksi yang sudah ditunggangi dengan kepentingan politik untuk menjatuhkan pak Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta, sehingga banyak yang menganggap kegiatan tersebut dinilai tidak tepat. Terpisah apakah memang ada atau tidak, tapi pernyataan yang dilontarkan pak Ahok di Kepulauan Seribu awalnya sudah bernuansa politis (mengingat kegiatan yang dilakukan adalah kunjungan kerja), sehingga tidak heran apabila ada (belum tentu ada ya) oknum yang memanfaatkan kegiatan tersebut, ibarat peribahasa Gayung Bersambut, Kata Terjawab. Bahkan kalau diamati ada yang menunggangi bahkan ada yang membayar 500ribu, saya kira sesuatu hal yang mustahil. Bayangkan saja berapa modal yang harus dikeluarkan untuk membayar orang sebanyak itu dengan hasil yang damai-damai saja ? sangatlah tidak sebanding !!!

Lucunya adalah setelah aksi yang dilakukan umat islam dalam menyuarakan aspirasinya, terkesan dilaksanakan aksi tandingan dengan mengangkat tema entah itu persatuan, NKRI ataupun kebhinekaan yang terkesan mempersepsikan aksi yang dilakukan umat islam adalah aksi yang tidak mencerminkan persatuan, tidak mencerminkan adanya NKRI dan tidak mencerminkan kebhinekaan. Lebih anehnya lagi adalah munculnya kata-kata bahwa anti kristen-lah, anti cina-lah, atau anti NKRI-lah, sehingga itu yang menjadi salah satu pertanyaan besar saya “Siapa yang pertama kali memunculkan kalimat itu ?”.

Para ulama hanya mengingatkan umatnya apa yang ada di dalam alquran (kitab suci pemeluk agama islam), jadi yang merasa bukan agama islam tidak perlu mengomentari bahkan repot dengan isi di dalamnya dengan berkata “Islam Garis Keras”. Bahkan bagi pemeluk islam sendiri sebenarnya tidak perlu memperdebatkan, yang mau mengikuti ajakan ulama silahkan, dan yang tidak ya tidak perlu berkata “nyinyir” dengan ajaran pedomannya sendiri. Isi kandunganya nya bukan untuk menyerang agama lain, tetapi hanya pada konteks tertentu kita dilarang. Aneh bin ajaibnya adalah, ada yang membuat status “.....masih mau pakai buatan barang non muslim” atau “.....masih mau makan buatan non muslim”, sesuatu pernyataan yang konyol mungkin bisa dikatakan seperti itu (Jaka Sembung Naik Odong-Odong, Ga Nyambung Donggg). Cukup hormati saja apa yang sudah menjadi ajaran agama lain tanpa ikut mencampuri. Kita masih hidup rukun tentram adil dan damai dengan pemeluk agama lain bukan ? tanpa harus mencampuri ajaran agama lain. Bahkan apabila yang sudah merasakan hidup di asrama, mungkin tidak perlu kita jelaskan dan tidak perlu kita teriakkan kepada mereka apa itu toleransi, tetapi justru seharusnya kita harus belajar makna toleransi sebenarnya kepada mereka.

Anti cina ? kalau mau dikatakan anti cina jelas ngarang. Tidak akan hidup tenang saudara-saudara kita apabila kita sudah anti cina. Tidak akan tenang mereka membuka toko-toko ataupun usaha mereka di sepanjang jalan di seluruh wilayah di Indonesia. Kita menyadari betul keberagamaan yang ada di negeri kita tercinta ini. Jadi tidak perlu membesarkan masalah dengan isu etnis. Toh..tidak sedikit pejabat negara yang sukses membawa negeri ini yang berasal dari etnis tionghoa.

Anti NKRI ? adakah tuntutan dalam aksi kemarin ingin memecah negara kesatuan yang berbentuk republik ini menjadi negara bagian ? justru yang ada adalah sekelompok oknum (saya katakan oknum !!) yang mencoba mengangkat isu untuk memisahkan diri dari Indonesia apabila pak Ahok tidak boleh menjadi kepala daerah. Siapa yang mengatakan tidak boleh ? silahkan...itu hak konstitusional beliau sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih. Jangan gagal fokus .....

Masyarakat harus pandai memilih informasi. Saya katakan disini memilih informasi karena informasi yang beredar begitu banyak sehingga hampir sulit dibedakan informasi yang memang sesuai fakta, atau hanya sekedar informasi abal-abal. Kedua belah pihak yang pro dan kontra jangan hanya asal Copy, Paste and Share terkait berita yang sudah sesuai dengan jalan pikiran masing-masing. Jikalau memang sudah sesuai dengan fakta yang ada, silahkan jika ingin disebarkan, namun juga jangan dibarengi dengan caption yang “nyinyir” dan terkesan provokasi. Namun apabila belum tau keabsahan beritanya, lebih baik diam daripada anda hanya sebagai oknum yang menjadi suasana menjadi lebih keruh, yang pada akhirnya tidak akan memberikan manfaat lain selain hanya akan menyebabkan saling benci, saling hina dan mencaci maki.

Kasus ini begitu banyak memberikan pelajaran bagi seluruh lapisan masyarakat. Pernyataan yang disampaikan pak Ahok jelas tidak akan menimbulkan gejolak sosial yang begitu besar apabila hanya orang biasa. Sangat wajar bila gejolak sosial begitu luar biasa karena yang melontarkan pernyataan adalah sosok pejabat publik terlebih kepala daerah ibukota negara. Pejabat publik tentunya harus berhati-hati dalam memberikan pernyataan kepada khalayak karena apa yang terlontar dari setiap lisan pejabat publik dapat dijadikan sebuah dasar dan acuan. Etika pemerintahan tentunya akan menjadi panduan bagaimana setiap insan pemerintahan mampu mewujudkan etika yang sudah menjadi ciri khas bangsa indonesia.


Proses hukum sudah berlangsung dan kita sebagai warga negara di negara hukum harus menghormati proses hukum yang sudah dilakukan. Kita harus mendukung berdirinya supremasi hukum yang adil, bermartabat, dan tidak ada intervensi dan aparat penegak hukum bisa menjalankan amanah yang diberikan secara profesional dan dengan penuh tanggung jawab atas nama profesi. Selain itu kita sebagai warga negara mempunyai tanggung jawab besar bersama yaitu harus terus menjaga NKRI agar tetap berjalan sesuai dengan tujuan Bangsa Indonesia yang sesuai UUD 1945 dan Pancasila. (oes13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar