Jumat, 03 Februari 2017

Pasca SEPULUH TITIK ENAM BELAS di persidangan Ahok

Masyarakat kini semakin dibuat pusing dan bingung dengan hiruk pikuknya perpolitikan di negeri ini, terlebih pada pertarungan politik pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Memanasnya situasi politik ibukota dimulai dengan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur Petahana non aktif, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. Tuntutan untuk segera memproses dugaan penistaan agama oleh berbagai pihak seolah menjadi genderang bagi seluruh kasus untuk turut serta diproses walaupun terlapor adalah kandidat peserta pilkada. Sejak dijadikannya Pak Ahok sebagai tersangka yang dengan waktu yang cukup lama, muncullah kasus-kasus lain seperti dugaan kasus korupsi yang menyandera Calon Wakil Gubernur Silviana Murni dengan kasus pembangunan masjid pada saat menjabat sebagai Walikota Jakarta Pusat dan kasus “entah itu hibah atau bansos” pramuka. Muncul lagi kasus Anis Baswedan yang dilaporkan ke KPK oleh Kamerad (Komite Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi) karena diduga menerima fee dari pengusaha terkait proyek komunikasi jarak jauh di Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui adiknya.

Tetapi pendapat yang akan saya ulas bukanlah munculnya serentetan kasus setelah ditetapkannya Ahok menjadi tersangka, melainkan memanasnya kembali situasi pasca persidangan Ahok menghadirkan saksi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Ma’ruf Amin.

Dalam berbagai warta berita menjelaskan bahwa Tim Kuasa Hukum Ahok mencerca Ketua MUI pertanyaan terkait ada tidaknya KH. Ma’ruf Amin menerima telepon dari Presiden Indonesia Ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, yang membicarakan penerimaan kunjungan pasangan kandidat nomor urut 1 (Agus-Silvi) serta permintaan fatwa dari SBY terkait kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok. Pertanyaan kuasa hukum Ahok dalam persidangan yang tersebar luas di media itu sontak menimbulkan keresahan baru dalam kasus tersebut. Apalagi diberitakan bahwa Tim Kuasa Hukum Ahok mempunyai bukti lengkap terkait pertanyaan yang dijawab tidak ada oleh sang Ketua MUI. Bahkan kuasa hukum Ahok, Humprey Djemat mempertanyakan pertanyaan yang sangat detail, dimana Tim Kuasa Hukum merasa mempunyai bukti lengkap terkait komunikasi antara keduanya pada hari Kamis tanggal 6 Oktober 2016 jam SEPULUH TITIK ENAM BELAS (sebagaimana dalam ulasan CNN Indonesia Prime News hari Rabu tanggal 1 Februari 2017, lihat menit ke 1:26). Namun, opini sudah berkembang di masyarakat bahwa Tim Kuasa Hukum Ahok telah melakukan penyadapan terhadap SBY dan Ketua MUI.

Bantahan diluncurkan bahwa bukti yang dimiliki bukanlah berupa transkrip percakapan apalagi dalam bentuk rekaman telepon. Kuasa Hukum kemudian menjelaskan bahwa bukti lengkap yang dimiliki, salah satunya adalah dari media online liputan6.com yang dimuat pada tanggal 7 Oktober 2016 . Namun jikalau kita merujuk pada argumentasi kuasa hukum dengan menunjuk pemberitaan tersebut, akan menjadi pertanyaan bagaimana bisa terlontar pertanyaan begitu mendetail berikut dengan jam dan menitnya, itulah mengapa SEPULUH TITIK ENAM BELAS perlu ditekankan. Kalau hanya dari orang yang mendengar atau mengetahui komunikasi tersebut, menurut saya sangat sulit untuk mengatakan sampai pada waktu menit. Paling tidak yang bersangkutan akan mengatakan waktu sekitar, bukan tepat pada jam berikut menit.

Tim Pengacara Ahok nampaknya bermain dengan sangat “ciamik” dengan memanfaatkan forum pengadilan serta kondisi psikologis masyarakat pada umumnya. Selain itu, tipe dan gaya SBY yang responsif begitu indah dipermainkan dengan menyeret namanya dalam forum pengadilan. Memang kuasa hukum diberikan wewenang untuk bertanya kepada saksi, toh juga pada saat itu hakim tidak memotong jalannya sidang ataupun menegur kuasa hukum. Tetapi dari perkataan kuasa hukum ahok diiringi dengan psikologis masyarakat kita yang dapat dikatakan labil, akan mudah membuat sebuah persepsi atau opini publik yang menyatakan bahwa hal tersebut memang benar adanya.

Ibarat orang memancing, Strike pun terjadi dengan sempurna.  Publik bereaksi keras terhadap apa yang dipertanyakan kuasa hukum Ahok kepada Ketua MUI tersebut. Pertanyaan tersebut seakan memojokkan dan bernada menuduh dengan berkata bahwa tim kuasa hukum mempunyai bukti lengkap dan bahkan tersebar informasi bahwa terlapor akan mempidanakan saksi. SBY bereaksi dengan memberikan konferensi pers  terkait dibawanya nama beliau dalam pertanyaan kuasa hukum Ahok kepada Ketua MUI. Paling tidak dengan cara ini mampu menaikkan popularitas sang calon gubernur yang dianggap turun drastis setelah terjerat kasus penistaan agama. Setelah berita terangkat dengan banyaknya orang mencari tau tentang apa yang terjadi “lagi” dengan Ahok, tim nya hanya perlu bekerja untuk melakukan counterattack terhadap opini yang menyudutkan sang calon. Sehingga cukup diuntungkan dengan tidak perlu bekerja keras menaikkan popularitas.

SBY dengan sifat responsifnya memberikan klarifikasi terkait pertanyaan yang diberikan kuasa hukum Ahok. Menurut hemat saya hal tersebut memang perlu dilakukan untuk menghindari fitnah. Masyarakat Indonesia dengan psikologis mendekati pilkada serentak sangat rentan terhadap perpecahan. Bukti-bukti yang dikatakan lengkap pun diminta untuk diberikan agar semuanya menjadi jelas, sehingga apa yang diucapkan terkait jam dan menitnya pun dapat dibuktikan. sekali lagi bahwa SEPULUH TITIK ENAM BELAS yang dimaksud harus jelas.

Permintaan Maaf “Lagi”

Karena maksud perkataan tim kuasa hukum Ahok dan Ahok sendiri ada yang beranggapan masih abu-abu dan perkataan itu bisa menjadi multi tafsir, bisa saja sebaliknya. Seringnya sang calon gubernur mengeluarkan perkataan yang asbun yang tidak dapat dipertanggungjawabkan -sebagaimana dilakukan pada saat debat calon gubernur dengan mengatakan kemendiknas rangking 22- yang tidak disadari memunculkan reaksi yang sangat keras dari para ulama. Banyak pihak menyayangkan tindakan Ahok yang dirasa jatuh di lubang sama dengan kembali mengulang kesalahan untuk lebih menjaga tutur katanya. Dampak dari hal tersebut mungkin tidak disadari oleh yang bersangkutan bahwa akan lebih membuat situasi semakin carut marut.

Tuntutan minta maaf kepada Ketua MUI pun dipesankan kepada Ahok agar suasana tidak menjadi keruh. Permintaan maaf kepada Ketua MUI pun sempat ditolak oleh Ahok sebagaimana diwartakan berbagai media tanah air, walaupun akhirnya permintaan maaf disampaikan juga. Namun permintaan maaf tersebut menurut hemat saya lebih tepat jika sang calon gubernur datang langsung dengan bersilaturahmi bertemu KH. Ma’ruf Amin, sehingga diharapkan mampu menurunkan ketegangan yang terjadi.

Ketakutan semakin memanasnya situasi politik ibukota sangat terasa tatkala Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya berkunjung ke rumah Ketua MUI setelah kejadian tersebut terjadi. Namun cukup menarik dilihat peran dari Menko Kemaritiman yang datang bersama Kapolda dan Pangdam Jaya. Kapasitas dalam masalah tersebut tentunya adalah Menko Polhukam sebagaimana tupoksi yang dimiliki. Mungkin ataukah untuk memperhalus maksud kedatangan mereka sehingga bisa diinformasikan ke publik bahwa maksud kunjungan bukan terkait masalah Ahok, makanya yang datang bukan Menko Polhukam melainkan Menko bidang lain dalam hal ini Menko Kemaritiman.

Klarifikasi Maksud Pertanyaan

Kedatangan Menko Kemaritiman bersama dengan kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya yang tidak disertai oleh Ahok atau paling tidak hadirnya Ahok secara langsung meminta maaf memang patut disayangkan. Terlebih justru klarifikasi pertanyaan tersebut datang dari Tim Pemenangan Basuki(Ahok)-Djarot tertanggal 1 Februari  2017 tertanda Sekretaris Tim Pemenangan Basuki-Djarot, Ace Hasan Syadzily. Menarik untuk menyimak surat klarifikasi yang memuat 4 (empat) poin yang pada intinya adalah menegaskan kembali bahwa Ahok tidak akan melaporkan KH. Ma’ruf Amin ke pihak kepolisian, hingga pada meminta kepada seluruh pihak terutama lawan politik Ahok untuk tidak menjadikan proses hukum di pengadilan sebagai alat politik untuk menjatuhkannya.

Saya tertarik menanggapi surat klarifikasi tersebut, terutama pada poin yang ditujukan kepada lawan politik Ahok. Pertama bahwa Kasus dugaan penistaan agama yang menjerat sang calon gubernur DKI Jakarta ini memang dikatakan banyak pihak sarat akan kepentingan politik. Namun tidak ada bukti bagaimana kepentingan politik itu berafiliasi untuk bersama-sama menjatuhkan Ahok. Perlu juga diingat kembali bahwa perkataan Ahok yang diduga menistakan agama waktu itu juga dilakukan pada waktu yang tidak tepat. Dilakukan pada saat kunjungan kerja dalam rangka jabatanya sebagai Gubernur DKI Jakarta, sehingga tidak tepat menyampaikan pernyataan yang mengandung unsur politik menjelang pilkada. Ibarat mancing yang tadi saya sampaikan, ini Strike pertama.

Ketertarikan saya yang kedua adalah mencermati bagaimana bisa surat klarifikasi ini dikeluarkan oleh tim kampanye pilkada ? bukankan pada surat klarifikasi tersebut juga disampaikan untuk tidak mengkaitkan proses persidangan dengan hiruk pikuk pilkada DKI Jakarta. Akan menjadi ironi bahwa maksud dalam proses persidangan yang notabene di dalamnya terdapat tim kuasa hukum harus dikeluarkan oleh tim kampanye. Tidak kah akan menjadi pertanyaan siapa yang sebenarnya mencoba mengkaitkan proses peradilan ini dengan proses politik ?

Harapan Seluruh Anak Bangsa

Saya bingung entah darimana masalah ini jadi seperti perseturuan 2 kubu agama yang berbeda. tak dapat dipungkiri menjadi sesuatu yang kaku apabila memperbincangkan masalah ini dengan teman kita yang berbeda pendapat, takut salah bicara pastinya, perlu kehati-hatian agar pertemanan, persahabatan dan kekeluargaan yang terjalin tidak hancur begitu saja. Bingung entah bermula darimana dan dari siapa bahwa kami sentimen terhadap agama tertentu. Bingung siapa yang mengatakan agama tertentu tidak boleh menjadi pemimpin. Menjadi pemimpin di negeri ini adalah hak seluruh warga negara. Namun hargailah kami, ajaran kami yang mengatakan kami tidak boleh memilih. Tidak boleh memilih bukan berarti yang lain tidak boleh mengajukan diri, itu hal yang berbeda. Jika ada ulama kami menyampaikan isi dan kandungan ajaran kami, itu adalah masalah di internal kami bukan untuk dipermasalahkan menjadi sebuah perbuatan diskriminasi karena tidak ditujukan untuk selain kami. Kita adalah satu keluarga Bangsa Indonesia yang harus bergotong royong untuk mencegah adanya upaya memecah belah Bangsa Indonesia.

Terlepas dari itu semua, seluruh anak bangsa tentunya berharap masalah ini segera menemukan titik akhir dengan mengedepankan kebenaran dan keadilan. Seluruh anak bangsa berharap seluruh institusi dan aparat penegak hukum dapat bekerja secara profesional sebagaimana sumpah yang telah diucapkan. Kami generasi muda bangsa ini tentunya mengharapkan hadirnya pendidikan politik yang bermartabat untuk dapat membawa tali estafet kepemimpinan bangsa Indonesia. Jangan sampai kita hanya terus dipertontonkan saling hujat dan saling benci sesama anak bangsa. Negeri ini terlalu indah jika kami generasi penerus bangsa tidak mampu menata nya jika hanya terus diberikan contoh yang tak pantas. Kami generasi penerus bangsa hanya ingin negeri ini mampu BERDIRI DI ATAS KAKI SENDIRI...Generasi penerus bangsa ini harus dapat selalu berpegang teguh kepada ideologi bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, itu artinya agama menjadi pilar utama yang pertama. Karena saya percaya, seluruh agama membawa ajaran damai di dalamnya. SALAM DAMAI INDONESIAKU....!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar